Thursday, August 2

Jangan Nyampah Sembarangan!

Pada suatu sore di musim liburan akhir semester, seorang ayah melakukan panggilan kepada anaknya melalui telepon genggam untuk menanyakan apakah ia sudah sampai di tempat tujuannya. Pukul tujuh, si anak sampai di tempat yang dimaksud dan gusar mendapati ayahnya ternyata belum tiba untuk menjemput. Ia mondar-mandir sembari pasang tampang cemberut karena risih harus menunggu di tempat yang disesaki oleh wajah-wajah mencurigakan.


Sekitar lima belas menit berselang, akhirnya sang ayah datang. Si anak menghampiri dan mencium tangan, tetap dengan cemberut di wajah. Namun sebaliknya, wajah sang ayah nampak antusias menyambut anaknya. Si anak agak heran sebab jarang-jarang sang ayah menampakkan sikap yang terlalu manis padanya. Setelah itu mereka segera melaju meninggalkan tempat tersebut.

Di perjalanan, percakapan bergulir. Topik yang diangkat tidak lain tentang sesuatu yang paling umum dibicarakan orang tua dan anaknya setiap akhir semester; sehabis nilai-nilai akademik habis dibagikan.

Si anak hampir kebingungan mencari cara yang tepat untuk membeberkan alasan mengapa hampir semua nilainya turun semester ini. Ia memutar otak, mengkambinghitamkan segala hal yang bisa dikambinghitamkan. Sedikit poles di sini, tambal di sana, dan voila, jadilah alasan yang bisa membuat sang ayah mengangguk-angguk maklum. Si anak mengambil napas lega, meskipun tak bisa dipungkiri rasa bersalah tengah menggedor-gedor hatinya.

Bagaimana tidak, jika yang dikerjakannya sepanjang hari tidak pernah jelas.
Bagaimana tidak, jika yang ada di pikirannya hanya rencana tentang bagaimana di akhir pekan ia dan teman-temannya ber-have-fun-go-mad ria.
Saat French manicure dan model pakaian teranyar menjadi main issue dalam obrolan sehari-hari.
Saat majalah fesyen menggantikan posisi diktat kuliah.
Ia begitu sayang pada otaknya; tak pernah dibiarkannya sang otak bekerja terlalu berat
Ia jarang pergi kuliah, kalaupun kuliah bisanya cuma NYAMPAH!

“Sudah, akui saja. Bilang saja, ‘Yah, aku memang jarang kuliah. Kalaupun kuliah itu juga cuma buat syarat aja. Di kelas cuma bengang-bengong ga keruan. Terus terang, kerjaanku memang mainly cuma ngobrol-ngobrol ngga jelas atau malas-malasan seharian . Yaaa, ngga heran kan makanya nilaiku turun semua? O iya, uang bulanan dari Ayah bisa ditambah lagi ngga? Kurang tuh. Mana cukup segitu buat biaya ngegaul? Ngga mau tau, pokonya aku harus kelihatan oke di depan temen-temenku.’ Come on admit it, you little hypocrite!” Begitu kata sebuah suara di pikirannya yang berteriak-teriak mengejek. Ia menggeleng pelan, berusaha menepis suara jujur yang menyebalkan itu.

Si anak terdiam. Terbesit sesal dalam diamnya. Syukur ia masih diberi sesal. Entah bagaimana dia akan memaknai rasa sesal itu. (i.y)



Kisah di atas hanyalah karangan belaka. Jika ada pihak yang merasa tersindir karenanya,, ya baguslah..

No comments: