Wednesday, January 17

problemo

"Kau tak mengerti bagaimana rasanya saat berjalan melintasi pusat perbelanjaan, melihat begitu banyak manekin mengenakan pakaian yang indah, dan saat kau mulai tertarik pada beberapa di antara pakaian-pakaian tersebut kau hanya akan menemukan bahwa tidak ada satu pun yang sesuai ukuranmu. Begitulah, pakaian-pakaian indah itu tidak pernah tercipta untukku."

"Jauhkan keripik itu dari pandangan mataku! Itu mengandung setidaknya 500 kalori."

"Mengapa kata gendut selalu diucap pertama kali saat orang-orang normal harus mendeskripsikan ciri-ciri orang yang bobot tubuhnya di atas rata-rata? Tak bisakah mereka menyebutkan ciri-ciri lain terlebih dahulu? Orang yang mereka bilang gendut toh juga punya rambut, warna kulit, tinggi badan, dan banyak ciri fisik lain yang bisa dideskripsikan. Mengapa berat badan harus memegang peranan yang paling penting dalam deskripsi fisik seseorang?"

Ya, aku memang tak tahu bagaimana rasanya kesulitan mencari baju; bagaimana aku harus menjauhkan diriku dari kudapan yang memang terlihat sangat menggoda sambil menimbang-nimbang setiap jumlah kalori yang akan masuk ke tubuhku; dan bagaimana aku harus menghadapi orang-orang di dunia ini yang menganggap memiliki berat badan yang mereka sebut normal adalah suatu hal yang penting. Aku memang tak pernah merasakannya. Tapi aku tahu, Ash telah memendam rasa pedih yang teramat sangat selama ini. Hampir setiap kali ia menceritakan tentang hal itu kelenjar air mata di wajahnya bekerja tanpa bisa ia kuasai. Aku tahu bahwa ia sedih dan muak dengan keadaannya, sering pula ia merasa tak berdaya. Namun karena memang aku tak tahu bagaimana pedihnya perasaan yang ia rasakan, aku tak dapat berkata banyak padanya. Oh Ash, temanku yang malang. Tapi aku yakin suatu saat keadaan akan berubah. Aku percaya suatu hari ia akan kehilangan sebagian bobot tubuhnya dan memiliki bentuk tubuh yang ia inginkan.

"Kau tahu, setiap keluarga besar berkumpul, mereka akan mulai lagi berbasa-basi dengan perkataan yang sebenarnya paling tidak ingin aku dengar. 'Wah, kau gemukan yah sekarang?'. Itu adalah kata-kata paling bodoh dan tidak peka sedunia yang pernah dilontarkan orang kepadaku. Ingin sekali aku membungkam mereka, tak peduli apapun kedudukan mereka dalam silsilah keturunan keluarga. Tapi sayang aku tak pernah bisa."

"Dan kau tahu apa, yang membuat kesedihanku sempurna adalah mereka selalu senang membanding-bandingkan antara aku dan kakakku, sang Ms.Perfect. Tentu saja dia punya segala hal yang tak aku punya. Kau ingat ungkapan 'Jika tidak ada yang jelek, maka tidak akan ada yang disebut cantik. Jika tidak ada yang bodoh, maka tidak akan ada yang disebut pintar'? Aku benci kata-kata itu. Mereka yang pernah menyebut kata-kata itu pasti tidak tahu bagaimana rasanya dibandingkan dengan orang lain hanya untuk mengetahui betapa sempurnanya orang itu dengan menunjukkan semua kelemahan-kelemahanmu. Orang-orang di keluarga besarku membuatku ingin membenci kakakku sendiri, tapi toh aku juga tidak bisa, karena dia selalu menyayangiku dengan tulus."

Seakan masalah berat badannya belum cukup, Ash harus menerima perlakuan yang menyakitkan hati dari orang-orang di sekelilingnya. Ya, aku tahu menjadi objek perbandingan untuk dijelek-jelekkan memanglah tidak enak. Namun lagi-lagi aku tidak tahu bagaimana rasanya karena aku tak pernah berada di posisinya. Aku malah lebih sering berada di posisi kakaknya. Tapi ku harap Ash tidak membenciku karenanya. Aku juga tak pernah ingin untuk dibanding-bandingkan dengan orang lain hanya untuk menyebut kelebihan-kelebihanku. Menurutku tak perlu menjatuhkan seseorang untuk memuji orang yang lain. Setiap orang di dunia ini unik, maka hargailah itu.

Ash hanya salah seorang dari beberapa temanku yang memiliki problem cukup berat dalam hidupnya. Seorang temanku yang lain, Beck harus kehilangan ayahnya dalam usia yang belia. Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana menjadi dirinya, yang selain harus kehilangan anggota keluarga yang dicintai juga harus mengalami gangguan stabilitas keuangan dalam keluarga. Aku sangat menghargai sikap tegar Beck yang selalu berwajah ceria hampir setiap saat.

Lain masalah Ash dan Beck, lain lagi masalah Chad. Kawan lamaku di bangku sekolah menengah pertama itu memang tidak harus kehilangan nyawa orang yang dicintainya, melainkan nyawanya sendiri. Ia belum pernah merasakan ulang tahun yang ke-17, usia dimana kata orang-orang kau sudah berhak menentukan jalan hidupmu sendiri. Waktu itu baru berselang beberapa bulan setelah ia dinyatakan resmi menjadi murid salah satu sekolah menengah atas ternama di kotaku. Jadi masalah yang ia miliki sekarang adalah masalahnya di dunia ini sudah selesai.

Entah bagaimana kabarnya di sana. Jika aku bisa bertanya, aku ingin sekali tahu keadaannya di sana. Sayang aku tak bisa bertelepon atau berkirim surat elektronik, atau apalah untuk sekadar ingin tahu. Sedang apa dia saat ini, sementara kebanyakan teman-temannya di sini masih bergumul dengan keindahan dunia, mencoba mengeksplorasi setiap inci dari tempat mereka berpijak.

Ash, jangan kau kira aku tak punya masalah hanya karena aku tak pernah menceritakannya padamu. Aku ingat kau pernah berkata bahwa kau akan merasa lebih lega jika mendengar orang lain menceritakan padamu tentang masalah mereka yang berat, untuk mengetahui bahwa kau tidak sendiri, bahwa kau bukan satu-satunya gadis dengan masalah yang serius. Asal kau tahu, aku ingin sekali melakukannya untuk meringankan beban yang kau rasakan, dan tentunya juga meringankan bebanku sendiri. Aku ingin berbagi cerita, berbagi derita denganmu. Tapi entah mengapa tenggorokannku seperti tercekat setiap kali aku mencobanya.

Ash, aku ingin sekali kau tahu bahwa masalahmu belum seberapa dibandingkan masalahku. Ini bukannya mau menyombongkan diri atau apa, lagipula memangnya masalah bisa dijadikan objek untuk disombongkan? Kau masih beruntung dapat meringankan kesulitan yang kau alami dengan menceritakannya pada orang lain. Sedangkan aku? Berpikir untuk menceritakannya saja terkadang aku takut.

Aku mungkin selalu terlihat tenang di depanmu, seolah tanpa masalah. Tapi bukannya jarang masalah itu menyeruak pikiranku. Itu hanya karena aku selalu menekannya ke bawah sampai berada pada prioritas terendah dalam daftar hal-hal yang harus ku pikirkan. Selama ini aku hanya bisa menangis dalam diamku. Terisak tanpa suara.

Aku selalu berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjadi tangguh, meskipun kadang aku tak tahan untuk melanggarnya. Aku juga selalu berusaha sekuat tenaga agar kebahagiaanku tidak bergantung pada keadaan di sekelilingku. Seperti yang banyak dikatakan dalam buku-buku psikologi remaja, kebahagiaan adalah urusan hati, itu bergantung pada bagaimana kau menyikapi masalah yang kau hadapi. Seolah aku ingin menghipnotis diriku sendiri untuk mempercayai bahwa aku bisa menciptakan kebahagiaan di duniaku sendiri.

Sore itu aku berkunjung ke rumah Ash. Ibunya yang ramah lalu menyambutku dengan suguhan masakan-masakan beliau yang lezat. Kami duduk makan bertiga sampai akhirnya ayahnya pulang dan bergabung bersama kami. Sang ayah bercerita tentang kejadian lucu di kantornya. Sang ibu menyendok nasi ke piring sang ayah sambil sesekali menanggapi kelakar sang ayah. Ash tertawa sambil berkata-kata manja.

Cukup. Ku palingkan wajah dari adegan yang sempurna itu. Di luar kontrolku, sang kelenjar air mata bekerja sesukanya.

2 comments:

uzi said...

Ash.. kalau mau kurus, contohlah gaya makan si pemilik blog ini..

Indri 'Ndie' Yunita said...

tu yang ngasi komen juga kurus kok, Ash. Tapi ga tau deh gaya makannya kaya gimana..