Sunday, December 31

pfff,,, akhirnya English class udah berakhir

sebenernya gw pengen bgt segera nge-post ini pada hari-H nya juga. Tapi banyak alasan yang membuat hal itu tidak tercapai.


Di sebuah kelas di gedung B milik STT Telkom, hari Kamis (21/12), telah terjadi suatu event yang bersejarah bagi seorang Ndie.
huff,,, alhamdulilah… lega banget rasanya setelah gw maju untuk deliver some speech in debating yang gw sendiri juga ga ngerti gw ngomong apaan, yang penting keliatan dan kedengeran kalo kita lagi ngomong. Toh orang-orang lain lebih sibuk sama dirinya sendiri. Walau dengan tergagap-gagap dan terlunta-lunta gw bisa nyelesain speech yang menyiksa itu dengan selamat. Mission accomplished!

Yeah,, it’s over now! Gw serasa mau loncat galah saking senengnya. Speech gw tadi mengakhiri tugas gw di English class buat mata kuliah Bahasa Inggris I, semester I ini. Subject yang biasanya sangat gw senangi waktu sekolah ini (ada beberapa faktor gw suka English, salah satunya sangat konyol untuk diceritakan) berubah jadi monster waktu gw kuliah. Mata kuliah ini udah nyiksa gw selama 1 semester dengan menciptakan ketakutan-ketakutan dalam diri gw. Sumpah, ga enak banget yah jadi orang parno-an…

Jadi ini semua berawal dari TOEFL yang diadakan STT Telkom di masa pra perkuliahan. Setelah TOEFL diadakan, hasil diumumkan, nama-nama dipampangkan, diberitahukanlah bahwa nama-nama yang hasil TOEFLnya begini begitu berhak masuk kelas yang sedikit beda dari kelas regular. Saat itu nama yang dipampang untuk berhak masuk kelas tersebut lumayan banyak, 100 orang kurang lebih. Dan terseliplah nama Indri Yunita dengan NIM 113061071 dalam daftar tersebut, meskipun dengan nilai pas-pasan.

Setelah itu diadakan briefing tentang kelas “spesial” tersebut. Dijelaskan panjang lebar oleh seorang dosen tentang advantages kalo lo masuk kelas itu. Nilai dijamin minimal B, ga perlu ikut UTS n UAS, dateng juga seminggu sekali (kalo regular 2 kali seminggu), dan sederet alasan persuasif lainnya yang bikin semua yang hadir tepuk tangan. “Hmmm,,, what a nice thing”, I thought.

Jadi apa yang diinginkan dari diadakannya kelas tersebut adalah untuk train students about critical thinking trus aplikasinya adalah debating. Nah,,, di sini gw mulai mikir sedikit. “Hmmm,,, kaya gimana yah?”

Yang menarik, para nama-nama itu ngga punya pilihan selain masuk ke kelas tersebut. Mereka dilarang keras masuk ke kelas regular. Kalopun kelas regular ngga dilarang, ya pasti pada milih kelas itu lah. Orang banyak banget “kelebihan”nya.

As time goes by, kelas itu mulai diadakan deh. Waktu itu untuk sementara kita harus dateng 2 kali seminggu demi mengejar ketinggalan materi katanya. Kelas itu diadain MALEM, jam 18.30-21.00. Huh,,, cape dey. Temen2 gw di kosan mah udah pada leha-leha jam segitu. Setiap gw mau brangkat English gw pasti rada ngga rela deh, secara temen2 gw dgn enaknya nyantai-nyantai kaya di pantai. Nah gw… Trus pulang ke kosan juga udah malem, sendirian, nelangsa deh.

Lebih lanjut lagi, ternyata semua kalimat persuasif yang diumbar dulu merupakan suatu bagian dari konspirasi terselubung yang licik. Gw mulai merasakan bahwa TOEFL itu hanya jebakan, dan kami semua terperosok ke dalamnya. Tidak ada jalan untuk kembali. Kengerian2 mulai tampak di mata gw.

Hehe… Halah, itu sih kata gw doang, orang yang ga bisa ngomong, jadi ga seneng di sana. Bagi mereka2 yang jago sih seneng banget kali di kelas itu.

Ke intinya aja deh. What I don’t like from that class is I felt suppressed, intimidated, uncomfortable, etc. It forced me to do something I actually don’t like: speaking. It doesn’t matter for me to speak, express my thought to public as long as I feel the public is warm to me. For example, at my former class Threntigo. I felt free to speak my mind to them. But with that class, I didn’t feel so.

Gw sadar banget kalo kemampuan verbal gw rendah. Dan maka dari itu harus dilatih, dan salah satu caranya bisa lewat kelas itu. Tapi gw rasa itu bukan cara yang tepat, karena gw ngerasa nggak enak buat belajar di sana, ga nyaman, merasa terancam, apalagi ngeliat mereka2 yang ngomongnya lancar bgt kaya aer, malah bikin down aja. Tambah aja deh gw terpuruk.

Why is it so hard for me to speak?? Sometimes mentioning just a word becomes a real struggle for me. I often hate myself for that. But it’s not a way out at all to complaining about it (somebody told me this thing). I knew it, but I have to blame someone for this problem, and the most possible one is I myself.

Moreover, itu adalah kelas debat. Wiss,, bukan gw banget tuh. Kepribadian gw yang lemot dan banyakan nerima-nerima aja jelas-jelas bertentangan dengan asas utama debating: ngotot sampai titik darah penghabisan. I don’t like debating where people bring each other down. Facts and statistics are abused to get what they want. It’s such a wasting time activity, because most of the problems remain unsolved in the end, because they’re debatable problems, and will be debated over and over again. So what’s the point?

Gw pengen, pengeen banget improve my verbal communication in English. Tapi dengan jalan yang menyenangkan, bukan menyiksa.

3 comments:

uzi said...

Gimana kaloo.. jadi bellgirl aja ndie? kan lumayan tuh jadi sering ngobrol ama tamu hotel=D

Indri 'Ndie' Yunita said...

saran yang aneh..

uzi said...

yaa.. kan berdasarkan pengalaman gw jadi bellboy gitu.. hanya sekedar saran.